Sebuah kegiatan yang bertitel “Advokasi dan Fasilitasi Pencegahan Perdagangan Orang” telah berlangsung selama dua hari, dari tanggal 13 Oktober 2009 sampai dengan 14 Oktober 2009, di Hotel New Naripan Bandung. Program yang difasilitasi oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Jawa Barat ini, diikuti oleh beberapa elemen masyarakat seperti Majelis Ulama, PKK, dan beberapa lembaga swadaya masyarakat yang berada di wilayah Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Sumedang.

Kegiatan ini dibagi kepada empat sessi diskusi dengan beberapa topik bahasan yang beragam terkait dengan permasalahan perdagangan orang, khususnya perdagangan perempuan. Sessi Pertama diisi oleh para pembicara dari Biro Hukum Pemprov Jabar, Kejaksaan Tinggi Jabar, Pengadilan Negeri Bandung dan Kepolisian Daerah (Polda) Jabar. Sessi Kedua berisi paparan dari perwakilan Dinas Sosial Jawa Barat, Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jabar. Pada Sessi Ketiga diisi oleh dua pembicara dari Yayasan Bahtera dan BPPKB Jabar sendiri. Terakhir pada Sessi Keempat giliran Pusat Studi Wanita (PSW) Universitas Padjadjaran dan Pusat Advokasi dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) yang menjadi pembicara.

Modus yang digunakan para pelaku trafficking sangat beragam, dari mulai merayu korban, menipu sampai menjebak keluarga korban dengan jerat hutang. Tercatat juga ada beberapa modus baru yang dilakukan, yaitu, perekrutan korban bertopeng pelatihan dan sebuah modus yang disebut “pengantin pesanan”. Modus pengantin pesanan ditemukan banyak terjadi di pinggiran Sukabumi, dimana banyak lelaki asing datang ke kampung-kampung di antar para calo untuk mencari gadis-gadis belia untuk dijadikan isteri. Akhirnya setelah gadis-gadis itu dinikahi, mereka jadikan sebagai budak-budak yang dipekerjakan secara paksa.

Meski Undang-undang Nomor 21 tahun tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang memiliki beberapa keistimewaan dibanding peraturan yang lainnya, tetap saja penanganan kasus-kasus trafficking ini jalan di tempat, terbukti dengan masih sedikitnya kasus-kasus yang bisa ditangani oleh para aparat terkait.

Dalam penanganan masalah trafficking ini tidak bisa dilakukan layaknya pemadam kebakaran, baru bertindak setelah kejadian. Namun, harus dilakukan langkah-langkah yang berkesinambungan dari hulu hingga hilir, dari mulai pencegahan, penindakan, penjemputan dan pemulangan korban. Sejauh ini yang dilakukan oleh pemerintah daerah Jawa Barat dan beberapa aparat terkait masih sangat minim, padahal Jawa Barat telah diketahui sebagai sending area (daerah asal/pengirim) para korban trafficking. Tak hanya itu, pemda Jabar pun belum mempunyai rumah aman (shelter) sebagai penampungan sementara bagi para korban trafficking.
Sebenarnya pemerintah dalam penanggulangan masalah trafficking ini selain telah mempunyai payung hukum yang kuat juga telah menetapkan apa yang disebut sebagai “Gugus Tugas”. Gugus Tugas adalah pola koordinasi antara beberapa intansi pemerintah dalam penanganan trafficking ini dengan melibatkan LSM dan masyarakat secara luas. Sayang, tentang Gugus Tugas ini sampai kegiatan Advokasi dan Fasilitasi ini berakhir saya belum menemukan kejelasan tata kerjanya seperti apa.

Dari informasi beberapa orang rekan yang sama-sama ikut dalam kegiatan ini, saya mengetahui bahwa kegiatan serupa ini cukup sering dilakukan. Namun, ketika saya bertanya kepada mereka tindak lanjutnya seperti apa, mereka serempak menjawab tidak tahu. Waduh gawat ni, padahal kegiatan seperti ini saya perkirakan cukup banyak menelan biaya, tetapi tata kerja, sasaran dan targetnya tidak jelas. Semoga saja pemerintah sadar akan hal ini dan tidak hanya menghambur-hamburkan uang rakyat. Wallahu a’lam.. (izoel)